Oleh : Rifah Zainani Asisten Project Officer Program Pendidikan Anak, Kerjasama LSAF - UNICEF
”Kami bukanlah sumber masalah, kami adalah sumber daya yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Kami bukanlah pengeluaran, kami adalah investasi. Kami bukan hanya orang muda, kami adalah manusia dan penduduk dunia. Sampai orang lain mau menerima tanggungjawabnya terhadap kami, kami akan berjuang untuk hak-hak kami.”
Ikrar di atas disampaikan oleh anak-anak pada pembukaan Sidang Umum PBB untuk Anak pada tanggal 8 Mei 2002 di New York, Amerika Serikat. Ikrar tersebut memang sudah lima tahun lalu disampaikan. Namun hingga saat ini nasib anak-anak, khususnya anak Indonesia belum menunjukan perubahan yang berarti.
Untuk itulah, peringatan Hari Anak Indonesia yang jatuh pada tanggal 23 Juli 2007 ini, menjadi momentum bagi kita untuk merefleksikan kembali tentang anak sebagai generasi penerus bangsa dan negara. Sebab, fakta tentang kondisi anak Indonesia sampai saat ini masih sangat memprihatinkan. Masih banyak anak Indonesia yang hidup tanpa hak dan perlindungan yang layak. Hampir setiap hari kita dikejutkan oleh berbagai pemberitaan tentang tindak kekerasan yang dialami oleh mereka, seperti kasus yang baru-baru terjadi, yaitu pembunuhan mutulasi terhadap seorang anak Sekolah Dasar Bandung yang disertai dengan mengambilan beberapa organ tubuh korban.
Menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), pada tahun 2006 telah terjadi 1.124 kasus kekerasan terhadap anak Indonesia. Dari jumlah itu, 451 berupa kekerasan psikis, 426 kekerasan seksual, dan 247 lainnya adalah kekerasan fisik. Sementara itu, locus atau tempat terjadinya tindak kekerasan paling banyak adalah di lingkungan sosial 35,03 persen, domestik atau rumah tangga 32,70 persen, dan sekolah 32,27 persen.
Dalam ranah sosial, anak memang sangat rentan mengalami berbagai tindak kekerasan, karena mereka dianggap sebagai kelompok yang lemah. Berbagai bentuk tindak kejahatan dan kekerasan terhadap anak seringkali berlaku. Tapi ironisnya, sebagai sumber daya mereka dimanfaatkan. Sementara pihak keluarga yang seharusnya menjadi benteng utama dalam memberikan perlindungan kepada anak, ternyata tidak mampu memberikan rasa aman dan nyaman. Orang tua yang seharusnya memberikan contoh dan teladan, justru menjadi salah satu elemen pelaku tindak kekerasan terhadap mereka. Seperti kasus incest yang dialami oleh tiga orang kakak beradik di salah satu desa di Jawa Tengah. Mereka telah menjadi budak seks ayah kandungnya sendiri selama berbulan-bulan hingga melahirkan. Sebuah potret ironi fungsi dan peran keluarga bagi anak.
Adapun sekolah, yang seharusnya berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang bertujuan mendidik anak agar memiliki budi pekerti yang baik serta tumbuh sehat secara mental-spiritual, juga memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap praktek kekerasan. Seperti penegakan disiplin dengan cara-cara kekerasan, bullying dan sebagianya. Atas nama disiplin guru kerap kali menggunakan cara-cara kekerasan dalam mendidik anak. Karena dalam pandangan sebagian besar guru, mendidik dengan menggunakan tindak kekerasan dapat mengubah perilaku dan prestasi anak menjadi lebih baik. Padahal, mendidik dengan menggunakan tindak kekerasan sebagai mekanismenya, justru merupakan bentuk tindakan yang tidak terdidik.
Selain tindak kekerasan yang terjadi di sekolah, problem lain yang dihadapi anak adalah persolan anak putus sekolah. Kenyataan ini benar-benar mencerminkan buramnya dunia pendidikan Indonesia. Di satu sisi, sekolah kerap menjadi lokus berseminya tindak kekerasan terhadap anak. Sementara pada sisi yang lain, anak Indonesia sulit mendapatkan hak dasarnya untuk memperoleh pendidikan yang layak. Pada tingkat SD saja, dimana wajib belajar 9 tahun menjadi standarisasi, terdapat 61.673 anak yang putus sekolah, sementara pada tingkat SMP mencapai 87. 545 anak, sedangkan tingkat SMU 83.508 anak. Walaupun pemerintah sudah menetapkan program BOS (Biaya Operasional Sekolah) sebagai salah satu strategi untuk meringankan beban pendidikan bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah, namun karena masih adanya berbagai macam pungutan dari sekolah, berupa uang gedung, pembelian buku yang tiap tahunnya berubah, transport, dan sebagainya, akhirnya tetap saja mereka yang berasal dari keluarga miskin tidak dapat mengenyam pendidikan.
Fakta di atas semakin runyam jika ditambah lagi dengan kondisi jutaan anak Indonesia lainnya yang menderita akibat kelaparan, wabah penyakit, busung lapar dan gizi buruk. Mohammad Dani, seorang balita berusia 1 tahun warga Koja, Jakarta Utara meninggal dunia akibat menderita gizi buruk. Dari data yang ada di Suku Dinas Kesehatan Kotamadya Jakarta Utara saja, ditemukan jumlah anak penderita gizi buruk untuk wilayah Jakarta Utara sudah mencapai taraf yang mengkhawatirkan. Dari awal tahun hingga Mei 2007 sudah 119 balita positif menderita kekurangan gizi sangat akut, sementara 865 anak lainnya berpotensi menderita penyakit tersebut (Koran Tempo, 30/05/07)
Dapat dibayangkan berapa besarnya angka diatas, jika diakumulasi dengan data-data dari berbagai kota di Indonesia. Dapat dipastikan ribuan anak Indonesia hidup dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Lalu, bagaimana kita dapat menciptakan generasi yang memiliki kualitas fisik, mental-spiritual, kecerdasan dan kepribadian yang sehat dan tangguh sehingga dapat menjadi penerus bangsa dan negara, jika kondisi anak Indonesia seperti ini? Mereka adalah pemilik dan pewaris masa depan. Tetapi potret kehidupan mereka sangat buram dan tragis. .
Sementara itu, hak anak yang merupakan bagian integral dari Hak Asasi Manusia sebagaimana yang termuat dalam UUD 1945 maupun Konvensi Hak-Hak Anak PBB yang telah diratifikasi oleh Indonesia ke dalam Keppres No.36/1990, belum sepenuhnya dijamin, dilindungi dan dipenuhi baik oleh orang tua, keluaraga, masyarakat, pemerintah dan negara.
Minimnya partisipasi dan keterlibatan anak dalam setiap aspek kehidupan menunjukan bahwa kita belum dapat memberikan dan menghormati hak-hak mereka. Sebagaimana ditulis oleh Mansour Faqih dalam pengantar buku Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis (2002), dalam proses bernegara, bermasyarakat, pendidikan maupun rumah tangga terdapat sistem, struktur, dan mekanisme yang merupakan cerminan dari ideologi dan keyakinan di kalangan ’orang dewasa’ yang menolak partisipasi anak dalam kehidupan sosial, politik dan budaya, karena mereka dianggap belum perlu diminta atau didengar pandangannya tentang bagaimana proses dalam negara, masyarakat, bahkan dalam penyelenggaraan sekolah di mana secara langsung mereka terlibat di dalamnya. Banyak organisasi negara, masyarakat, sekolah maupun rumah tangga yang menolak untuk mendengarkan anak-anak ketika mereka hendak menetapkan kebijakan yang secara langsung menyangkut kehidupan anak-anak.
Akhirnya potret anak Indonesia hingga saat ini masih jauh dari menggembirakan. Banyak agenda yang realisasinya mereka nantikan, bagi pemenuhan hak mereka. Jika anak adalah cerminan masa depan sebuah bangsa dan negara, bukankah fakta itu berarti tragis dan ironisnya masa depan Indonesia?
(CONTOH POSTING)