09 Desember, 2007

PENDIDIKAN HARUS TERINTEGRASI

Siapa yang bisa menjamin bahwa semua orang yang menempuh pendidikan saat ini akan meneruskan pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi. Bahkan ada yang harus menerima kenyataan, berhenti meski masih pada jenjang pendidikan dasar.

Pemerintah memang boleh saja telah mencanangkan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Tapi ruang untuk bisa menyelesaikan pendidikan pendidikan dasar sembilan tahun itu belum dibuka secara lebar.

Artinya, peluang bagi anak usia sekolah dasar untuk tidak bersekolah masih sangat besar. Sebab, masih banyak hambatan yang harus dihadapi. Antara lain faktor biaya. Meski belakangan, sebagian daerah sudah mengagas pendidikan gratis.

Tapi yang gratis itu tidak selamanya baik. Yang gratis juga ternyata tak selamanya benar-benar gratis. Itulah kenyataan yang membuat banyak anak di usia sekolah dasar tetap harus menjatuhkan pilihan – secara terpaksa – untuk tidak lanjut sekolah.

Hingga kini, tidak ada data pasti berapa banyak anak yang putus sekolah dari Sekolah Menegah Pertama (SMP) ke Sekolah Menengah Atas (SMA) dari tahun ke tahun di Sulsel. Oleh karena itu masalah ini harus segera ditangani untuk menyelamatkan agar anak-anak tetap cinta sekolah. Sekaligus disiapkan menyongsong dunia baru mereka, sebagai remaja.

Dan ternyata, jawaban atas persoalan itu adalah pendidikan dasar yang diberikan sudah harus terintegrasi. Dengan begitu, meski harus putus sekolah, mereka telah memiliki (minimal sekali) bekal untuk menghadapi tantangan.Sebutlah misalnya, kemampuan bahasa Inggris untuk dunia kerja. Ini merupakan satu hal yang sangat penting dewasa ini. Hampir tak ada orang yang bekerja tanpa memiliki kemampuan bahasa Inggris.

Selain itu, pengenalan terhadap teknologi, khususnya komputer. Ini juga sangat mendasar. Sebab, tanpa kemampuan tersebut, mustahil orang bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih. Karena itulah, konsep pendidikan yang akan diterapkan ke depan, haruslah pendidikan yang terintegrasi. Tak hanya konsep pendidikan dengan kurikulum yang selama ini dikenal.

Untuk itulah masyarakat Sulsel patut bersyukur. Sebab, daerah ini menjadi wilayah pelaksanaan program pendidikan dasar terdesentralisasi (Desentralized Basic Education).

(Hasil wawancara khusus ini di muat di harian FAJAR edisi Ahad, 8 April 2007)

08 Desember, 2007

Mengenang 11 Tahun Wafatnya Gurutta Ambo Dalle

Jumat, 30-11-2007
Pernah Larang Santri Jadi PNS
Mengenang 11 Tahun Wafatnya Gurutta Ambo Dalle
Suara Kiai Haji Muhhamad Yunus Shamad Lc terdengar parau saat menceritakan kesannya bersama mendiang gurunya, Gurutta KH Abdurrahman Ambo Dalle, tiga dekade lalu.
Dia larut dalam emosinya saat bicara di depan sekitar 800-an orang memadati Gedung Serba Guna Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Kamis (29/11).
"Gurutta tidak cuma mengajarkan apa itu ikhlas. Setiap perbuatannya dia menunjukkannya kepada kita," katanya mengawali sambutan singkatnya di acara mengenang (haul) XI wafatnya pendiri Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI) itu, sebuah organisasi kemasyarakatan (ormas) berbasis pendidikan dan dakwah Islam di Sulsel, 60 tahun lalu.
Yunus adalah salah satu orang dekat Gurutta. Di awal ceramahnya, dia memperkenalkan diri sebagai "supir Gurutta".
Sejak Ambo Dalle mendirikan Pondok Pesantren Manahilil Ulum DDI Kaballangang, Pinrang, 1976, dia sudah makkanre guru, tinggal dan belajar di rumah sang Guru.
"Sepulang dari Kairo (Mesir), tahun 1981 hingga setahun sebelum wafatnya (1996), saya masih selalu selalu mendampingi dan melihatnya menolak undangan pejabat pemerintah, dan lebih memilih menghadiri undangan ceramah rakyat di desa terpencil. Itu kalau undangan dari desa lebih dulu," ujar Kepala Bidang Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren (PK Pontren) Kantor Wilayah Departemen Agama (Kanwil Depag) Sulsel ini.
Dia bahkan sempat terisak saat mengenang bagaimana dia melanggar pesan pendiri Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI), cikap bakal Ponpes DDI Mangkoso, Barru (1939) ini, soal kaitan keikhlasan dan pekerjaan.
"Saat beliau sudah sakit-sakitan saya jadi PNS. Padahal dia selalu menyarankan muridnya tidak makan gaji dari pemerintah. dan.. "
Sampai pada pesan Gurutta untuk tidak jadi abdi negara ini, Yunus yang juga alumnus Universitas Al Azhar, Kairo ini terhenti sejenak.
Dia seakan membiarkan keheningan meliputi gedung seukuran dua kali lapangan bulu tangkis ini.
Beberapa alumnus DDI yang duduk di kursi bagian depan, VIP, seperti Prof Dr Qasim Mathar, dua anak kandung Gurutta, Dr Rusdi Ambo Dalle dan Halim Ambo Dalle, Ketua PB DDI Prof Dr Muiz Kabry, terlihat tersenyum.
"Bahkan," lanjutnya, "Gubernur Andi Oddang (1977-1982) dan Pak Abdurrahman K (Kakanwil Depag Sulsel) yang secara khusus datang meminta izin ke Gurutta ditolak mengangkat murid-muridnya dijadikan pegawai," katanya.
Makanya, dia berpesan "jangan jadi pegawai negeri", kali ini tawa dan tepuk tangan menggema di gedung itu. Bahkan Rahim Mas P Sajata, Kakandepag Makassar yang hadir juga tak kuasa menahan tertawa.
Pilihan menjadi PNS diakuinya dilematis. Saat menangani proyek pengembangan pesantren di depag, dia terus mengingat hikmah dan alasan mengapa Gurutta melarang muridnya jadi PNS.
"Jangan sampai, jabatan PNS itu membuatmu tidak ikhlas lagi mengajar dan gajinya membuatmu memakan makanan yang subhat," kata Yunus mengutip pesan gurunya.
Dalam yurisprrudensi hukum Islam, subhat adalah istilah yang digunakan untuk mendefenisikan status hukum yang "abu-abu", antara halal dan haram.
Ulama-ulama salafiyah yang berhaluan ahlu sunnah wal jamaah, (ajaran ini juga diamalkan di organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang mengamalkan ajaran ketuhanan (sufisme) cenderung menghindari makanan, minuman, yang asal-usulnya dia ragukan.
Imam besar Masjid Raya Makassar, KH Muhammad Makka (67) yang juga mengaku murid langsung dari Gurutta Ambo Dalle, mengungkapkan dampak dari makanan yang subhat itu.
"Saya ikut terus pesan Gurutta, tidak makan gaji pemerintah. dan inilah mungkin yang membuat saya sampai sekarang tak pakai kacamata dan tetap bisa menjaga hafalan (Al Quran) 30 juz-ku," ujarnya kepada tribun, pekan lalu.
Namun bagi Yunus, larangan mengabdi untuk negara ini hanya disampaikan terbatas di kalangan terdekat murid-murid gurutta dan tidak disebar luaskan ke publik.
"Itu lebih merupakan sikap dan pilihan hidup dan politik Gurutta. Bukan fatwa."
Pilihan Gurutta untuk berseberangan dengan pemerintah ini bisa dimaklumi.
Selain melarang jadi PNS, satu lagi larangan Gurutta yang terkesan "aneh"; melarang nonton acara tinju.
Nonton tinju itu, kata Ambo Dalle, seperti membiarkan adu domba antarmanusia.
Di masa perang revolusi, usai kemerdekaan, Ambo Dalle oleh sejarah dicatat sebagai Menteri bidang Tarbiyah Islamiyah DI/TII, pimpinan Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar, yang oleh pemerintahan Soekarno dikategorikan separatis yang mengganggu perjuangan revolusi kemerdekaan.
"Gurutta berhasil diloloskan keluar dari hutan oleh pasukan TNI pimpinan Kapten Andi Patonangi (Bupati pertama Pinrang, yang kemudian memberinya lahan untuk mendirikan Ponpes DDI Kaballangang)," demikian jejak sejarah Gurutta yang dibacakan di haul itu oleh Sekjen PB DDI Saiful Jihad.
Toh, buktinya salah seorang murid kesayangan Gurutta, KH Ali Yafie, yang juga mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), hanya didiamkan saat memilih mengabdi di pemerintah.
Baginya, larangan jadi PNS itu lebih merupakan refleksi dari pola hidup Gurutta yang begitu takut kepada Allah.
Keihlasan, tidak berbuat hasad (menceritakan atau memberikan penilaian) terhadap perilaku seseorang, teguh pendirian, santun dalam berkata, dan tak pernah putusa asa adalah teladan yang kemudian banyak menjadikan ulama-ulama terdahulu terlihat hidup sederhana, dan bersikap, dan cenderung tak lagi dimiliki ulama-ulama sekarang.
Dan setidaknya, cerita-cerita soal kemuliaan dan kisah-kisah ketidakbiasaan seperti uang yang tiba-tiba ada di bawah bantal, dan banyak lagi kemuliaan Gurutta, tak sedkit membuat hadirin mengeluarkan air mata.
Putra tertua AGH Ambo Dalle, Dr Rusdy Ambo Dalle, terbang khusus dari Jakarta ke Makassar untuk menghadiri acara tersebut.
Deklarator dan Wakil Ketua Umum Pimpinan Kolektif Nasional (PKN) Patrai Demokrasi Pembaruan (PDP) ini mengaku terharu atas sikap warga Sulsel terhadap bapaknya.
"Saya sangat terharu dan berterima kasih karena masih ada orang yang mengingat gurutta (AGH Ambo Dalle). Masih ada teman-teman yang mau memperingati haul Gurutta ini," jelas Rusdy.

Potret Buram Anak Indonesia

Oleh : Rifah Zainani

Asisten Project Officer Program Pendidikan Anak, Kerjasama LSAF - UNICEF

”Kami bukanlah sumber masalah, kami adalah sumber daya yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Kami bukanlah pengeluaran, kami adalah investasi. Kami bukan hanya orang muda, kami adalah manusia dan penduduk dunia. Sampai orang lain mau menerima tanggungjawabnya terhadap kami, kami akan berjuang untuk hak-hak kami.”

Ikrar di atas disampaikan oleh anak-anak pada pembukaan Sidang Umum PBB untuk Anak pada tanggal 8 Mei 2002 di New York, Amerika Serikat. Ikrar tersebut memang sudah lima tahun lalu disampaikan. Namun hingga saat ini nasib anak-anak, khususnya anak Indonesia belum menunjukan perubahan yang berarti.

Untuk itulah, peringatan Hari Anak Indonesia yang jatuh pada tanggal 23 Juli 2007 ini, menjadi momentum bagi kita untuk merefleksikan kembali tentang anak sebagai generasi penerus bangsa dan negara. Sebab, fakta tentang kondisi anak Indonesia sampai saat ini masih sangat memprihatinkan. Masih banyak anak Indonesia yang hidup tanpa hak dan perlindungan yang layak. Hampir setiap hari kita dikejutkan oleh berbagai pemberitaan tentang tindak kekerasan yang dialami oleh mereka, seperti kasus yang baru-baru terjadi, yaitu pembunuhan mutulasi terhadap seorang anak Sekolah Dasar Bandung yang disertai dengan mengambilan beberapa organ tubuh korban.

Menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), pada tahun 2006 telah terjadi 1.124 kasus kekerasan terhadap anak Indonesia. Dari jumlah itu, 451 berupa kekerasan psikis, 426 kekerasan seksual, dan 247 lainnya adalah kekerasan fisik. Sementara itu, locus atau tempat terjadinya tindak kekerasan paling banyak adalah di lingkungan sosial 35,03 persen, domestik atau rumah tangga 32,70 persen, dan sekolah 32,27 persen.

Dalam ranah sosial, anak memang sangat rentan mengalami berbagai tindak kekerasan, karena mereka dianggap sebagai kelompok yang lemah. Berbagai bentuk tindak kejahatan dan kekerasan terhadap anak seringkali berlaku. Tapi ironisnya, sebagai sumber daya mereka dimanfaatkan. Sementara pihak keluarga yang seharusnya menjadi benteng utama dalam memberikan perlindungan kepada anak, ternyata tidak mampu memberikan rasa aman dan nyaman. Orang tua yang seharusnya memberikan contoh dan teladan, justru menjadi salah satu elemen pelaku tindak kekerasan terhadap mereka. Seperti kasus incest yang dialami oleh tiga orang kakak beradik di salah satu desa di Jawa Tengah. Mereka telah menjadi budak seks ayah kandungnya sendiri selama berbulan-bulan hingga melahirkan. Sebuah potret ironi fungsi dan peran keluarga bagi anak.

Adapun sekolah, yang seharusnya berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang bertujuan mendidik anak agar memiliki budi pekerti yang baik serta tumbuh sehat secara mental-spiritual, juga memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap praktek kekerasan. Seperti penegakan disiplin dengan cara-cara kekerasan, bullying dan sebagianya. Atas nama disiplin guru kerap kali menggunakan cara-cara kekerasan dalam mendidik anak. Karena dalam pandangan sebagian besar guru, mendidik dengan menggunakan tindak kekerasan dapat mengubah perilaku dan prestasi anak menjadi lebih baik. Padahal, mendidik dengan menggunakan tindak kekerasan sebagai mekanismenya, justru merupakan bentuk tindakan yang tidak terdidik.

Selain tindak kekerasan yang terjadi di sekolah, problem lain yang dihadapi anak adalah persolan anak putus sekolah. Kenyataan ini benar-benar mencerminkan buramnya dunia pendidikan Indonesia. Di satu sisi, sekolah kerap menjadi lokus berseminya tindak kekerasan terhadap anak. Sementara pada sisi yang lain, anak Indonesia sulit mendapatkan hak dasarnya untuk memperoleh pendidikan yang layak. Pada tingkat SD saja, dimana wajib belajar 9 tahun menjadi standarisasi, terdapat 61.673 anak yang putus sekolah, sementara pada tingkat SMP mencapai 87. 545 anak, sedangkan tingkat SMU 83.508 anak. Walaupun pemerintah sudah menetapkan program BOS (Biaya Operasional Sekolah) sebagai salah satu strategi untuk meringankan beban pendidikan bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah, namun karena masih adanya berbagai macam pungutan dari sekolah, berupa uang gedung, pembelian buku yang tiap tahunnya berubah, transport, dan sebagainya, akhirnya tetap saja mereka yang berasal dari keluarga miskin tidak dapat mengenyam pendidikan.

Fakta di atas semakin runyam jika ditambah lagi dengan kondisi jutaan anak Indonesia lainnya yang menderita akibat kelaparan, wabah penyakit, busung lapar dan gizi buruk. Mohammad Dani, seorang balita berusia 1 tahun warga Koja, Jakarta Utara meninggal dunia akibat menderita gizi buruk. Dari data yang ada di Suku Dinas Kesehatan Kotamadya Jakarta Utara saja, ditemukan jumlah anak penderita gizi buruk untuk wilayah Jakarta Utara sudah mencapai taraf yang mengkhawatirkan. Dari awal tahun hingga Mei 2007 sudah 119 balita positif menderita kekurangan gizi sangat akut, sementara 865 anak lainnya berpotensi menderita penyakit tersebut (Koran Tempo, 30/05/07)

Dapat dibayangkan berapa besarnya angka diatas, jika diakumulasi dengan data-data dari berbagai kota di Indonesia. Dapat dipastikan ribuan anak Indonesia hidup dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Lalu, bagaimana kita dapat menciptakan generasi yang memiliki kualitas fisik, mental-spiritual, kecerdasan dan kepribadian yang sehat dan tangguh sehingga dapat menjadi penerus bangsa dan negara, jika kondisi anak Indonesia seperti ini? Mereka adalah pemilik dan pewaris masa depan. Tetapi potret kehidupan mereka sangat buram dan tragis. .

Sementara itu, hak anak yang merupakan bagian integral dari Hak Asasi Manusia sebagaimana yang termuat dalam UUD 1945 maupun Konvensi Hak-Hak Anak PBB yang telah diratifikasi oleh Indonesia ke dalam Keppres No.36/1990, belum sepenuhnya dijamin, dilindungi dan dipenuhi baik oleh orang tua, keluaraga, masyarakat, pemerintah dan negara.

Minimnya partisipasi dan keterlibatan anak dalam setiap aspek kehidupan menunjukan bahwa kita belum dapat memberikan dan menghormati hak-hak mereka. Sebagaimana ditulis oleh Mansour Faqih dalam pengantar buku Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis (2002), dalam proses bernegara, bermasyarakat, pendidikan maupun rumah tangga terdapat sistem, struktur, dan mekanisme yang merupakan cerminan dari ideologi dan keyakinan di kalangan ’orang dewasa’ yang menolak partisipasi anak dalam kehidupan sosial, politik dan budaya, karena mereka dianggap belum perlu diminta atau didengar pandangannya tentang bagaimana proses dalam negara, masyarakat, bahkan dalam penyelenggaraan sekolah di mana secara langsung mereka terlibat di dalamnya. Banyak organisasi negara, masyarakat, sekolah maupun rumah tangga yang menolak untuk mendengarkan anak-anak ketika mereka hendak menetapkan kebijakan yang secara langsung menyangkut kehidupan anak-anak.

Akhirnya potret anak Indonesia hingga saat ini masih jauh dari menggembirakan. Banyak agenda yang realisasinya mereka nantikan, bagi pemenuhan hak mereka. Jika anak adalah cerminan masa depan sebuah bangsa dan negara, bukankah fakta itu berarti tragis dan ironisnya masa depan Indonesia?

(CONTOH POSTING)