08 Desember, 2007

Mengenang 11 Tahun Wafatnya Gurutta Ambo Dalle

Jumat, 30-11-2007
Pernah Larang Santri Jadi PNS
Mengenang 11 Tahun Wafatnya Gurutta Ambo Dalle
Suara Kiai Haji Muhhamad Yunus Shamad Lc terdengar parau saat menceritakan kesannya bersama mendiang gurunya, Gurutta KH Abdurrahman Ambo Dalle, tiga dekade lalu.
Dia larut dalam emosinya saat bicara di depan sekitar 800-an orang memadati Gedung Serba Guna Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Kamis (29/11).
"Gurutta tidak cuma mengajarkan apa itu ikhlas. Setiap perbuatannya dia menunjukkannya kepada kita," katanya mengawali sambutan singkatnya di acara mengenang (haul) XI wafatnya pendiri Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI) itu, sebuah organisasi kemasyarakatan (ormas) berbasis pendidikan dan dakwah Islam di Sulsel, 60 tahun lalu.
Yunus adalah salah satu orang dekat Gurutta. Di awal ceramahnya, dia memperkenalkan diri sebagai "supir Gurutta".
Sejak Ambo Dalle mendirikan Pondok Pesantren Manahilil Ulum DDI Kaballangang, Pinrang, 1976, dia sudah makkanre guru, tinggal dan belajar di rumah sang Guru.
"Sepulang dari Kairo (Mesir), tahun 1981 hingga setahun sebelum wafatnya (1996), saya masih selalu selalu mendampingi dan melihatnya menolak undangan pejabat pemerintah, dan lebih memilih menghadiri undangan ceramah rakyat di desa terpencil. Itu kalau undangan dari desa lebih dulu," ujar Kepala Bidang Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren (PK Pontren) Kantor Wilayah Departemen Agama (Kanwil Depag) Sulsel ini.
Dia bahkan sempat terisak saat mengenang bagaimana dia melanggar pesan pendiri Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI), cikap bakal Ponpes DDI Mangkoso, Barru (1939) ini, soal kaitan keikhlasan dan pekerjaan.
"Saat beliau sudah sakit-sakitan saya jadi PNS. Padahal dia selalu menyarankan muridnya tidak makan gaji dari pemerintah. dan.. "
Sampai pada pesan Gurutta untuk tidak jadi abdi negara ini, Yunus yang juga alumnus Universitas Al Azhar, Kairo ini terhenti sejenak.
Dia seakan membiarkan keheningan meliputi gedung seukuran dua kali lapangan bulu tangkis ini.
Beberapa alumnus DDI yang duduk di kursi bagian depan, VIP, seperti Prof Dr Qasim Mathar, dua anak kandung Gurutta, Dr Rusdi Ambo Dalle dan Halim Ambo Dalle, Ketua PB DDI Prof Dr Muiz Kabry, terlihat tersenyum.
"Bahkan," lanjutnya, "Gubernur Andi Oddang (1977-1982) dan Pak Abdurrahman K (Kakanwil Depag Sulsel) yang secara khusus datang meminta izin ke Gurutta ditolak mengangkat murid-muridnya dijadikan pegawai," katanya.
Makanya, dia berpesan "jangan jadi pegawai negeri", kali ini tawa dan tepuk tangan menggema di gedung itu. Bahkan Rahim Mas P Sajata, Kakandepag Makassar yang hadir juga tak kuasa menahan tertawa.
Pilihan menjadi PNS diakuinya dilematis. Saat menangani proyek pengembangan pesantren di depag, dia terus mengingat hikmah dan alasan mengapa Gurutta melarang muridnya jadi PNS.
"Jangan sampai, jabatan PNS itu membuatmu tidak ikhlas lagi mengajar dan gajinya membuatmu memakan makanan yang subhat," kata Yunus mengutip pesan gurunya.
Dalam yurisprrudensi hukum Islam, subhat adalah istilah yang digunakan untuk mendefenisikan status hukum yang "abu-abu", antara halal dan haram.
Ulama-ulama salafiyah yang berhaluan ahlu sunnah wal jamaah, (ajaran ini juga diamalkan di organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang mengamalkan ajaran ketuhanan (sufisme) cenderung menghindari makanan, minuman, yang asal-usulnya dia ragukan.
Imam besar Masjid Raya Makassar, KH Muhammad Makka (67) yang juga mengaku murid langsung dari Gurutta Ambo Dalle, mengungkapkan dampak dari makanan yang subhat itu.
"Saya ikut terus pesan Gurutta, tidak makan gaji pemerintah. dan inilah mungkin yang membuat saya sampai sekarang tak pakai kacamata dan tetap bisa menjaga hafalan (Al Quran) 30 juz-ku," ujarnya kepada tribun, pekan lalu.
Namun bagi Yunus, larangan mengabdi untuk negara ini hanya disampaikan terbatas di kalangan terdekat murid-murid gurutta dan tidak disebar luaskan ke publik.
"Itu lebih merupakan sikap dan pilihan hidup dan politik Gurutta. Bukan fatwa."
Pilihan Gurutta untuk berseberangan dengan pemerintah ini bisa dimaklumi.
Selain melarang jadi PNS, satu lagi larangan Gurutta yang terkesan "aneh"; melarang nonton acara tinju.
Nonton tinju itu, kata Ambo Dalle, seperti membiarkan adu domba antarmanusia.
Di masa perang revolusi, usai kemerdekaan, Ambo Dalle oleh sejarah dicatat sebagai Menteri bidang Tarbiyah Islamiyah DI/TII, pimpinan Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar, yang oleh pemerintahan Soekarno dikategorikan separatis yang mengganggu perjuangan revolusi kemerdekaan.
"Gurutta berhasil diloloskan keluar dari hutan oleh pasukan TNI pimpinan Kapten Andi Patonangi (Bupati pertama Pinrang, yang kemudian memberinya lahan untuk mendirikan Ponpes DDI Kaballangang)," demikian jejak sejarah Gurutta yang dibacakan di haul itu oleh Sekjen PB DDI Saiful Jihad.
Toh, buktinya salah seorang murid kesayangan Gurutta, KH Ali Yafie, yang juga mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), hanya didiamkan saat memilih mengabdi di pemerintah.
Baginya, larangan jadi PNS itu lebih merupakan refleksi dari pola hidup Gurutta yang begitu takut kepada Allah.
Keihlasan, tidak berbuat hasad (menceritakan atau memberikan penilaian) terhadap perilaku seseorang, teguh pendirian, santun dalam berkata, dan tak pernah putusa asa adalah teladan yang kemudian banyak menjadikan ulama-ulama terdahulu terlihat hidup sederhana, dan bersikap, dan cenderung tak lagi dimiliki ulama-ulama sekarang.
Dan setidaknya, cerita-cerita soal kemuliaan dan kisah-kisah ketidakbiasaan seperti uang yang tiba-tiba ada di bawah bantal, dan banyak lagi kemuliaan Gurutta, tak sedkit membuat hadirin mengeluarkan air mata.
Putra tertua AGH Ambo Dalle, Dr Rusdy Ambo Dalle, terbang khusus dari Jakarta ke Makassar untuk menghadiri acara tersebut.
Deklarator dan Wakil Ketua Umum Pimpinan Kolektif Nasional (PKN) Patrai Demokrasi Pembaruan (PDP) ini mengaku terharu atas sikap warga Sulsel terhadap bapaknya.
"Saya sangat terharu dan berterima kasih karena masih ada orang yang mengingat gurutta (AGH Ambo Dalle). Masih ada teman-teman yang mau memperingati haul Gurutta ini," jelas Rusdy.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

tolong dicarikan jalan tegah perselsihan antara Unasman dan pihak DDI. karna selama ini DDI yang saya itu kenal adlah selalu bijaksana.marilah kita sama-sama mengembangkan indonesia terutama sulbar yang begitu minim ilmu karna persoalan biaya.

Anonim mengatakan...

tolong dicarikan jalan tegah perselsihan antara Unasman dan pihak DDI. karna selama ini DDI yang saya itu kenal adlah selalu bijaksana.marilah kita sama-sama mengembangkan indonesia terutama sulbar yang begitu minim sarjana karna persoalan biaya.

hamka nudiey mengatakan...

saya pernah mondok dipesantren kaballangan dan sering bersama gurutta ambo dalle,terus terang kami dari masalembu kab.sumenep jawa timur.sangat kaget ketika ada perselisihan.apa sudah ada tidak ada jalan untuk bersatu lagi saat gurutta masih hidup.hidup mati kami hanya untuk DDI.sebagai orang keturunan sulsel yang berada di madura hanya yang menjadi kebanggaan kami'wassalam(hamka)email nudieyhamka@yahoo.com